Beranda | Artikel
Pentingnya Penanaman Birru al-Walidan
Sabtu, 2 Juli 2022

Di antara hal terpenting di samping mentauhidkan Allâh سبحانه وتعالى dalam hal peribadatan adalah berbakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua (birru al-Walidain). Karena berbakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan perintah Allâh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya yang datang langsung setelah perintah untuk mentauhidkan-Nya.

Allâh سبحانه وتعالى  berfirman:

 وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ

Rabbmu telah memerintahkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya saja, dan agar berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. (QS. Al-Isrâ/17:23)

Ayat ini, seperti di sebutkan oleh Syaikh Abdurrahmân as-Sa’dî رحمه الله bahwa sesudah Allâh سبحانه وتعالى menyebutkan hak-Nya yang wajib dipenuhi oleh hamba, kemudian Allâh  menyebutkan hak dua orang tua yang wajib dilakukan seorang hamba. Yaitu harus berbuat baik kepada keduanya dengan segala bentuk kebaikan, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hanya dengan sebab keduanyalah ia lahir, dan keduanya sungguh-sungguh memiliki curahan cinta kasih dan kebaikan yang luar biasa pada putera-puterinya. Hal yang memastikan besarnya hak orang tua, dan wajibnya berbuat baik kepada keduanya.1

Firman Allâh ini dilanjutkan dengan firman-Nya:

اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Apabila salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sudah mencapai usia lanjut di sisimu, maka janganlah engkau katakana “uf” kepada keduanya, dan janganlah engkau berlaku kasar kepada keduanya. Dan ucapkanlah kepada keduanya kata-kata yang lembut. (QS. Al-Isrâ’/17:23)

Artinya, seperti yang diterangkan al-hâfizh Ibnu Katsîr رحمه الله dalam tafsirnya; jangan memperdengarkan kata-kata buruk kepada keduanya meskipun hanya berupa kata-kata “uf”, sebuah kata buruk yang peringkatnya paling ringan. Jangan pula lakukan tindakan buruk kepada keduanya. 2

Setelah Allâh سبحانه وتعالى melarang berkata dan berbuat buruk kepada keduanya, Allâh سبحانه وتعالى memerintahkan agar seorang hamba berkata dan berperilaku yang baik kepada keduanya. Yaitu berkata dengan kata-kata yang lemah lembut dan penuh sopan santun serta sarat penghormatan. Demikian pula berperilaku yang baik dan sopan. Juga mendoakan keduanya, baik pada saat mereka masih hidup di usia lanjut, maupun pada saat mereka telah meninggal dunia3 , dengan doa yang tertuang pada akhir ayat:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

Ucapkanlah doa bagi keduanya (artinya): “Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mentarbiyahku pada saat aku kecil”. (QS. Al-Isrâ’/17:24)

Ayat lain yang senada antara lain firman Allâh سبحانه وتعالى, yang artinya, “Dan Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah; kesusahan demi kesusahan, dan kemudian menyapihnya pada umur dua tahun. Agar bersyukurlah kepadaKu dan (kemudian) kepada kedua orang tuamu. Hanya KepadaKu-lah tempat kembali. (QS. Luqmân/31:14)

Di samping ayat-ayat di atas, juga banyat terdapat hadits-hadits Rasûlullâh ﷺ yang menekankan wajibnya birrul Wâlidain serta haramnya durhaka kepada keduanya. Di antaranya hadits dari ‘AbdurRahmân bin Abî Bakrah, dari ayahnya (yaitu Abû Bakrah) رضي الله عنه, ia mengatakan, “Nabi ﷺ bersabda:

أَلَا اُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ؟ ثَلَاثًا، قَالُوا: بَلَى يَارَسُوْلَ اللَّهِ، قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوْقُ الوَالِدَيْنِ- وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ- ألَا وَقَوْلُ الزُّوْرِ، قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

“Inginkah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?” Beliau ﷺ menanyakan hal ini sampai tiga kali. Mereka menjawab, “Tentu wahai Rasulullâh” Maka Beliau ﷺ bersabda, “(Yaitu) Syirik kepada Allâh, dan durhaka kepada kedua orang tuanya”, -lalu Beliau ﷺ duduk, sedangkan pada mulanya Beliau bersandar-, Kemudian Beliau melanjutkan sabdanya, “Ketahuilah, demikian pula perkataan dusta”. Abû Bakrah رضي الله عنه mengatakan: Nabi ﷺ terus mengulangi sabdanya itu hingga kami berkata: Kalaulah Beliau diam. (HR. al-Bukhâri) 4

Sementara itu Ibnu Umar mengatakan:

رِضَا الرَّبِّ فِيْ رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِيْ سَخَطِ الْوَالِدِ. -رواه البخاري في الأدب المفرد

Ridha Allâh terletak pada ridha orang tua, dan kemurkaan Allâh terletak pada kemurkaan orang tua. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)5

Syaikh al-Albânî رحمه الله mengatakan bahwa riwayat ini shahîh secara marfû’ kepada Nabi ﷺ . 6

Nabi ﷺ juga menjelaskan keutamaan birrul wâlidain yang tinggi. Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd z, ia mengatakan: Ada seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ tentang amalan apakah yang paling utama. Beliau ﷺ menjawab:

 الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا، وَبِرُّ الوَالِدَيْنِ، ثُمَّ الجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ

Shalat tepat pada waktunya dan birru al-wâlidain, kemudian jihad di jalan Allâh. (HR. Al-Bukhâri) 7 Di saat lain ada seseorang yang datang dan bertanya kepada Nabi ﷺ :

يَارَسُوْلَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ.

Wahai Rasûlullâh, siapakah orang yang paling berhak un- tuk aku temani dengan sebaik-baiknya? Beliau menjawab, “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau ﷺ menjawab, “Kemudian ibumu”. Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”. Beliau ﷺ menjawab lagi, “Kemu- dian ibumu” Orang itupun masih bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi”. Beliau ﷺ menjawab: “Kemudian ayahmu”. (HR. Al-Bukhâri dan Muslim 8

Dan masih banyak nash-nash lain tentang wajibnya birrul Walidain dan tentang haramnya durhaka kepada keduanya. Bahkan Rasulullâh ﷺ mengancam seseorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya dengan tidak masuk surga, artinya masuk neraka . Beliau ﷺ bersabda:

رَغِمَ أَنْفُهُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلُ اللَّهِ؟ قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا، ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ. -رواه مسلم (والبخاري في الأدب المفرد)

“Betapa celaka ia,kemudian betapa celaka ia, kemudian betapa celaka ia”. Maka ada seorang Shahabat bertanya, “Siapa maksudnya ya Rasûlullâh?” Beliau ﷺ menjawab, “Seseorang yang sempat menjumpai dua orang tuanya pada saat mereka lanjut usia, -salah satunya atau dua-duanya-, kemudian ia tidak masuk surga” (HR. Muslim dan al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad) 9

Tentu tidak seorangpun yang menginginkan anaknya masuk neraka. Dengan demikian, betapa pentingnya penanaman sikap dan perilaku birru al-wâlidain pada diri anak. Untuk itu wajib bagi setiap orang tua Muslim untuk mendidik putera-puterinya bersikap dan berperilaku birru al-wâlidain.

Dan hal yang juga sangat penting untuk dipahami ialah, bahwa birrul wâlidain, bukan sekedar tidak menyakiti orang tua, tetapi juga mengerahkan segala perkataan yang baik dan lemah lembut, serta mengerahkan segenap upaya perbuatan baik dengan segala apa yang mungkin, baik dengan tenaga, tindakan maupun harta benda, termasuk selalu mengunjungi orang tua. Waffaqallâh al-Jamî’.


Footnote:

1 Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, QS. Al-Isrâ’, ayat ke-23

2 Tafsir Ibnu Katsir, ayat terkait; QS. Al-Isrâ’, ayat ke-23

3 Ibid, dengan bahasa bebas.

4 Shahîh Bukhârî dalam Fath al-Bârî V/261, no. 2654

5 Al-Adab al-Mufrad, Takhrîj dan ta’lîq: Syaikh al-Albânî, Dâr ash Shiddîq, cet. II, 1421 H/2000 M, hlm. 13-14 , no. 2. Beliau mengatakan: Riwayat ini Hasan secara mauqûf pada Ibnu Umar. Tetapi ada riwayat shahîh yang mafû’ kepada Nabi ﷺ .

6 Lihat foot note sebelumnya.

7 Shahîh Bukhârî dalam Fath al-Bârî XIII/510, no. 7534

8 Shahîh Bukhârî dalam Fath al-Bârî X/401, no. 5971, dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî, Khalîl Maâmûn Syihâ, Dâr al-Ma’rifah, Beirut. XVI/318-319, no. 6447 dan 6448

9 Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî, Khalîl Maâmûn Syihâ, op.cit. XVI/324, no. 6458. dan al-dab al-Mufrad, Imam Bukhârî, op.cit. hlm. 20, no. 21

 

Majalah As-Sunnah Edisi 05/Thn XVIII/Dzulqa’dah 1435H/September 2014M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/akidah/pentingnya-penanaman-birru-al-walidan/